Rabu, 26 Agustus 2015

Renungan setelah tragedi



Setelah kejadian yang menimpa adik saya, saya semakin yakin dengan pilihan saya untuk menekuni pilates sebagai olah tubuh yang banyak manfaatnya. Memang olah tubuh ini tergolong mahal tetapi coba anda bandingkan dengan pergi terapi di chiropractic. Anda bisa membayar Chiropractic 17 juta atau malah 25 juta. Sementara yang mengolah tubuh anda adalah orang lain. Chiropractic yang akan memanipulasi dan men-adjust tubuh anda. Saya yakin orang tersebut tidak mengetahui range gerakan yang aman dan nyaman bagi anda. 

Sedangkan pilates, anda dapat memperbaiki postur anda sendiri karena tubuh anda diajarkan untuk membangun body awareness sehingga mampu menghindari cedera. 

Saya sendiri mempunya scoliosis 10’. Saya seorang ibu dengan 2 orang anak. Menjadi ibu pasti akan menggerus stamina. Semenjak 8 tahun yang lalu saya sudah berpilates. Selain badan jadi langsing dengan berat hanya diseputaran 45 kg, scoliosis saya teratasi. 

Cukup adik saya yang mengalami tragedi ini. Mari hidup sehat dengan mandiri tanpa mengandalkan orang lain.

Hubungi studio saya bila anda berminat ingin tahu tentang pilates.

Kami menerima kedatangan anda untuk berbagi tips mengatasi sakit punggung (spine problems, scoliosis, kyphosis dll). Kami membuka sesi group sharing secara gratis di minggu ke 3 setiap bulannya. (No obligation for joining our pilates program). Setiap sesi 60 menit dibatasi untuk 4 orang, dimana kami akan berbagi pengetahuan ttg mengatasi sakit punggung anda secara mandiri dengan DIY pilates dan gerakan simple 'myofascial release'.


Telp: 021 71792905

Senin, 24 Agustus 2015

Masih tertarik dengan Chiropractic?

Apabila anda masih tertarik dengan Chiropractic, mari dengar pendapat adik saya Elvita Natassa, seorang instruktur pilates.

Ternyata sudah ada beberapa korban jiwa praktek Chiropractic di negara ini. Sayang tidak pernah di-ekspos. Salah satunya adik saya. Dia adalah korban malpraktek Chiropractor asing yg aturan perijinannya tidak jelas di negara ini. Hati-hati dgn praktek Chiropractic. Di Indonesia perijinannya saja dikeluarkan oleh Kementrian Pariwisata, bukan Kementrian Kesehatan. Jadi sebetulnya   praktek mereka sekelas salon dan spa, bukan medis.

Mereka bukan dokter kebanyakan dari mereka hanya dokter umum lalu belajar Chiropractic. Kalau demikian, apakah pantas mereka memasang harga mahal dengan resiko hilangnya nyawa seseorang?

Kejadian ini mengubah 180' pandangan saya ttg pengobatan alternatif. Saya tidak percaya lagi dengan pengobatan alternatif! Mereka hanya mengaku-ngaku bisa, ngomongnya bullshit dan hanya mau uang! Please broadcast this to your friends and families.

Rabu, 19 Agustus 2015

Salah terapi di chiropractic merenggut nyawa adikku dalam waktu 6 jam

Adik kami, Chicha, lahir di suatu hari di bulan Desember 1982. Saya ingat sekali, mama pamit pergi makan malam dengan kakak-kakaknya yang akhirnya berakhir di rumah sakit karena mama tiba-tiba pecah ketuban dan langsung dibawa ke rumah sakit. Papa sedang berada di luar kota waktu itu. Sesampainya di rumah, papa segera ke Bandung, waktu itu memang kami sedang berdomisili di Cimahi karena papa bertugas sebagai kepala cabang PLN di kota tersebut.



Allya Siska Nadya atau sering dipanggil dengan nama kecil Chicha, lahir dengan berat 4 kilo. Dia adalah bayi yang cantik. Meskipun mengharapkan adik laki-laki ternyata memiliki adik bayi perempuan sangat menyenangkan. Walaupun kadang kami suka jahil kepadanya. Chicha adalah tipikal anak ke 4, cerdas, kemauannya keras, halus tutur bahasanya, sungkan merepotkan orang dan dia sangat peduli dengan orang sekitarnya. Pernah suatu kali saat duduk di kelas 2 di SD St. Theresia, Padang, dia datang mengoleh-olehi mama 1 tusuk sate dan 1 buah ketupat dengan meminjam uang dari supir. Dan kebiasaan mengoleh-olehkan orang di rumah pun berlanjut sampai dia dewasa. Mungkin hanya buah tangan kecil tapi kami jadi tahu bahwa dia ingat pada kami.

Papa pindah-pindah dinas ke beberapa kota. Salah satu kota yang akhirnya terasa menjadi rumah ke dua adalah Bali. Kami menghabiskan masa SMA kelas 2 di sana, yang akhirnya Vida memutuskan untuk berangkat sekolah di Amerika saat kami duduk di kelas 3 SMA. Sebenarnya aku berangkat ke Amerika hanya untuk menemani Vida walaupun akhirnya kami ternyata hidup di kota yang berbeda dan sangat jauh satu sama lain.

Sekembalinya dari Amerika itu aku melihat adik kecilku sudah tumbuh dewasa. Dia menjadi gadis cilik. Dan ternyata melihat kami merantau, adik kami mulai punya keinginan untuk merantau juga. Saat itu sulit membayangkan bahwa adik kecil kami yang biasa kami manja akan bisa hidup mandiri, sendiri dan jauh dari orang tua dan keluarga. Chicha mengikuti jejak kami untuk berkuliah di QUT Australia.

Sekembali dari sana Chicha sempat bekerja di beberapa tempat. Ternyata seselesai kuliahnya jiwa berpetualangnya tak terbendung. Karena dirinya aktif di AISEC, dia mengikuti program magang di Tunisia. Begitu bersemangatnya dia mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke Tunis dia membekali dirinya dengan mengikuti bahasa Perancis.

Jujur, kami sempat khawatir melepasnya sendiri di negara Arab. Tapi ternyata Tunisia sangat modern. Ternyata Chicha mempunyai ketertarikan dengan budaya arab. Setelah bahasa Perancis, dia pun membangun minat pada bahasa arab. Tanpa sepengetahuan kami, chicha mendaftarkan dirinya di sebuah universitas di Amman, Jordania. Tapi ternyata Chicha tidak terlalu betah disana. Bernegosiasi dengan orang arab itu sulit dan mereka sering kali menyulitkan wanita. Akhirnya Chicha kembali sebelum genap setahun tinggal. Selama disana Chicha berhasil membawa mama untuk melihat Petra, Syria, semua tempat yang kini tidak mungkin dikunjungi karena konflik Timur tengah yang berlangsung hingga saat ini.


Sebagai wanita, Chicha punya jiwa bertualang dan berani. Sering kali aku berpikir:”Gimanalah makan si Chicha?” Tapi dia selalu kembali dengan keadaan happy. Jadi aku yakin sekali adikku ini pintar hidup. Pernah suatu kali, Chicha pergi ke Toraja. Perjalanan tersebut memakan waktu 10 Jam dari Makassar. Ternyata perjalanan tersebut menghasilkan foto-foto perjalanan yang luar biasa indahnya. Dan sedihnya aku tidak pernah tahu betapa berbakatnya dia. Foto-foto tersebut baru aku lihat setelah Chicha tiada. Itulah adikku, begitu pendiamnya sampai aku sendiri tidak tahu hal-hal yang menakjubkan tentang dirinya.


Tahun ini adik kecilku kembali pergi merantau untuk mengejar pendidikan S2nya. Pilihan jatuh ke Lille, Perancis. Menurut rencana Chicha harus tiba di sana sebelum tanggal 20 Agustus 2015. Begitu Visa Perancisnya keluar, Chicha akan berangkat pada tgl 18 Agustus 2015. Karena saya sudah berencana untuk hijrah ke Australia tahun depan, aku pun benar-benar ingin menghabiskan waktu untuk adikku. Jadi sepulang dari Canberra tgl 2 Agustus kemarin, aku tinggal semalam untuk bertemu dengan papa, mama dan Chicha.

Suatu malam yang merenggut separuh hati kami. 

Semenjak tahun 2014 Chicha didiagnosis mempunyai kelainan tulang belakang yang disebut Kyphosis. Kyphosis adalah kondisi dimana tulang belakang membengkok secara berlebihan. Hal ini bisa terjadi karena banyak hal misalnya kebiasaan duduk yang salah atau membawa barang-barang yang berat seperti laptop.  Scoliosis adalah kelainan tulang punggung berbentuk huruf 'S'. Kedua kondisi tersebut membuat adik kami sering mengeluh sakit di daerah punggung atas. Beberapa temannya mengetahui kondisi tersebut karena cica bercerita kepada mereka tentang kondisi tersebut di tahun 2011. Dokter menyarankannya untuk MRI dan CT scan sebagai persiapan untuk operasi. Aku menyarankan dirinya untuk beryoga, atau berpilates. Kebetulan, aku dan Vita memiliki studio pilates. Klien kami pun beberapa adalah orang dengan keluhan sakit punggung ataupun trauma karena jatuh.

Meskipun keadaan tubuhnya begitu, Chicha tidak menjadi manja. Dia tetap bersemangat bekerja walaupun aku tahu tubuhnya seperti tidak kuat. Tiap kali aku datang di hari Sabtu- Minggu untuk menginap di rumah mama, pasti tukang pijit datang untuk membantunya memulihkan stamina. Beberapa kali dia pergi infus Vitamin B karena ingin tetap bekerja di hari berikutnya. Adikkku ini keras kemauan dan mandiri. Meskipun orang tua kami sangat mampu dan memanjakannya, dia lebih suka menikmati hasil jerih payahnya sendiri.


Karena kesibukannya bekerja hal-hal yang aku sarankan tidak sempat dia kerjakan. Hari itu 6 Agustus 2015, mama mengirimkan pesan bbm supaya kami berkumpul week-end itu menjelang keberangkatan Chicha. Berat hati kami melepasnya tapi kami tahu bahwa ‘travelling dan belajar’ adalah panggilan hati Chicha. Selama Chicha bahagia, kami pun bahagia. Kami pun setuju untuk berkumpul.

Saat aku sedang tidur, tiba-tiba handphoneku berbunyi, kulihat nama kakakku Vida tertera disitu. “Ya Vid?”..”Vir, Chicha sekarang sedang di RSPI, dia sakit punggung sampai dalam keadaan tidak sadar. Sekarang dia mau dipasang ventilator,” Vida terdengar sedih. “Hah?!!! Kenapa? Sudah telp Vita? Kenapa Chicha” Saat itu dipikiranku Vita yang dapat memberi saran, Vita seorang pilates instruktur, dia belajar anatomi dan otot. Pasti Vita bisa mengurutnya, apalagi kalau hanya kecetit.

“Dia pergi ke chiropractic di Pondok Indah Mall tadi siang, eh tau2 jadi begini.” “Vita tidak bisa dihubungi. Lo bisa ga kesini?” Bingung luar biasa, sementara suami sedang jauh dan pembantu hanya 1 orang. Dan waktu saat itu menunjukkan pukul 2.56 dini hari. Akhirnya kukirim pembantu laki-lakiku pergi menembus malam untuk menggedor pintu adikku.

“ Ya Vir?” tanya Vita. “Vit, Chicha di emergency RSPI dia sakit punggung katanya sekarang dia ga sadar.” Vita kaget luar biasa, belum pernah kami mendengar orang sakit punggung sampai pingsan bahkan sampai dibawa ke UGD. Dari pengalaman kami di studio, kami sangat berhati-hati sangat menterapi klien kami. Tidak pernah kami memaksakan 1 gerakanpun untuk klien-klien. Akhirnya setelah berembuk dengan Vita, kuputuskan untuk membawa anak-anak ke rumah mama di tanah kusir. Kuberanikan diri pergi dengan taxi pada jam 3.30 pagi.

Setelah mengantar anak-anak aku langsung bergegas ke RSPI. Sesampai disana, kulihat Chicha terbaring lemah tak sadarkan diri denyut nadinya berada di angka 70-40, punggung kanan atasnya membengkak. Aku panik, kupanggil-panggil namanya. Dua orang dokter terlihat mengawasinya. Kucari mama, aku tahu mama pasti hancur hatinya bila terjadi sesuatu yang buruk pada adikkku. Mama terduduk lemas dipojok ruangan, wajahnya khawatir, papa terlihat mondar mandir mendatangi dokter. Diagnosa saat itu adalah pecah pembuluh darah. Kudampingi mama, tak lama tante dan omku datang untuk melihat Chicha.

Setengah jam berada disana, kulihat Vita mengabarkan bahwa Chicha sadarkan diri. Tetapi karena Chicha ada kecenderungan untuk meronta-ronta dan melepaskan alat2 bantunya maka dokter memutuskan untuk memberikan tambahan obat penenang. Sedikit lega dan optimis kami saat itu. Dengan perasaan was-was kudatangi adikku. Semoga semua baik-baik saja dan rencana berangkat tetap dijalankan.

Tiba-tiba Chicha membuka matanya dan meringis, alat bantu pernafasan dimuntahkannya. “Sakit Cha?” tanyaku. “iya,”jawabnya lirih. “Mau miring Cha?” tanyaku lagi. “iya.” Tiba-tiba Chicha meringis kembali, matanya terlihat seperti merasakan sakit, bibirnya pucat dan tangannya terasa dingin. Aku mencoba menenangkan dia dengan hipnoterapi, supaya dia tenang dan rasa sakitnya bergeser.


Saat aku berkata,” Cha, bayangkan tempat yang indah Cha, dimana Chicha happy sekali.” Kulihat matanya seperti melihat sesuatu lalu nadinya berubah menjadi datar. Dokter dan perawat-perawat segera berhamburan. Dokter memompa jantungnya setengah jam. Mama kelihatan menyerah, " Tolonglah bimbing dia Vir," mama memintaku dengan berair mata.

Tanda- tanda vital Chicha akhirnya melemah. Kami harus merelakan Chicha pergi. Rumah sakit mengumumkan jam 6.15 sebagai waktu Chicha meninggal, tapi kami yakin pada pukul 5.45 Chicha sudah pergi. Dengan perasaan sedih, dada serasa dicabik- cabik dan air mata berlinang, aku pun mengumumkan: Innalillahi wa’inna illaihi raa’jiun, telah berpulang ke rahmatullah adik, saudara perempuan kami yang tercinta: Allya Siska Nadya hari ini di RSPI, jenazah akan disemayamkan di rumah duka Jl. Bintaro Raya.

Sebegitu cepatnya kamu pergi Cha. Kepergian Chicha menyisakan pertanyaan. Bahkan kami pihak keluarga pun sampai tidak sanggup menjawab karena kami tidak tahu persis apa yang terjadi dengan Chicha sehingga begitu fatal. Kami sedang mengusut masalah ini. Tetapi yang kami ketahui pada hari Kamis Chicha pergi menemui seorang chiropractic bernama Dr. Randall Caferty yang berpraktek di Chiropractic First, Pondok Indah 2x, pada jam 1 siang dan pada jam 7 malam harinya. Lalu jam 11.30, ayah kami dibangunkan oleh alm yang mulai merasakan sakit yang luar biasa pada punggungnya.

Untuk itu kami butuh dukungan dan doa supaya kasus seperti ini tidak terulang kembali. Please follow my sister’s instagram: @dreamersepiphanies to show your support.

If you have similar story about mispractice in chiropractic table, please share your story by sending me an email  to enatliya@gmail.com. We need a change here! Better regulations, better rules,  licensed of practice to avoid another tragedy.

For further reading please read: https://www.sciencebasedmedicine.org/stroke-death-from-chiropractic-neck-manipulation/ 



Pengikut